RSS

Arsip Tag: TQM

PENGUKURAN EFEKTIFITAS dan EFISIENSI BERDASARKAN BIAYA BERBASIS AKTIVITAS (ACTIVITY BASED COSTING) PADA RUANG LINGKUP TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI (atau P3KR : Pendidikan, Pelatihan, Produksi, Rekayasa, dan Konsultasi)

PENGUKURAN EFEKTIFITAS dan EFISIENSI BERDASARKAN BIAYA BERBASIS AKTIVITAS (ACTIVITY BASED COSTING) PADA RUANG LINGKUP TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI (atau P3KR : Pendidikan, Pelatihan, Produksi, Rekayasa, dan Konsultasi)

SEKAPUR SIRIH

Mengintegrasikan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat merupakan suatu hal mutlak yang diperlukan dewasa ini ditinjau dari kacamata ekonomi dan pendidikan. Sampai dengan saat ini, belum didapat suatu formulasi pas yang dapat membagi berapakah idealnya prosentase yang diperlukan suatu institusi/industri atau bahkan suatu dosen/pelaku pendidikan/pelaku industri dalam menjalankan fungsi Tridharma Perguruan Tinggi / fungsi Industri Manufaktur. Selain itu, evaluasi berkesinambungan perlu dilakukan yang tidak hanya pada tahap perencanaan ataupun pada hasil akhir saja, namun ditekankan juga pada fase pelaksanaan, fase pemantauan, fase pengendalian dan fase evaluasi pasca selesainya. Sehingga perlu menentukan objek apa yang akan diukur, bagaimana cara mengukurnya, bagaimana cara mengolah data, merepresentasikan, menganalisa, dan menarik kesimpulannya.Tentunya hal tersebut dilakukan untuk tujuan continuous improvement.

Dalam era globalisasi tujuan tersebut umumnya diukur berdasarkan parameter efektivitas dan efisiensi, namun pada akhirnya tetap akan bermuara pada tujuan ekonomi berupa ‘margin profit’ dan ‘cash flow’ (dikaitkan dengan fungsi biaya, selain tujuan di luar aspek ekonomi lainnya berupa benefit). Penerjemahan Tridharma PT dewasa ini meluas seperti dikenal dengan istilah P3KR (Pendidikan, Pelatihan, Produksi, Konsultasi, dan Rekayasa). Perluasan makna tersebut diakibatkan bahwa keterlibatan dunia pendidikan tidak dapat berdiri sendiri tanpa ditopang oleh aktivitas lainnya berupa pelatihan, produksi, konsultasi, dan rekayasa, serta tanggungjawab kepada masyarakat sosial ataupun industri.

Perluasan makna tersebut memiliki konsekwensi bahwa pelaksanaan Tridharma PT / P3KR harus dilakukan secara terintegrasi, dan harus dapat mengukur obyek aktivitas maupun obyek lainnya sampai satuan terkecil melalui suatu pusat data yang tersebar di dalam struktur organisasi pada suatu institusi pendidikan ataupun industri. Sebagai persyaratan untuk mewujudkannya, maka diperlukan suatu sistem lainnya yang disebut dengan COST CENTER (Pusat Biaya) yang dapat mengelompokkan atau mengalokasikan biaya sampai ke obyek terkecil yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung ke obyek yang akan diukur.

Kompleksnya pengelolaan Tridharma Perguruan Tinggi yang ada akan mengakibatkan bahwa Model Pengelolaan di Industri Manufaktur (baik produk maupun layanan jasa) telah terwakilkan olehnya (karena merupakan sub dari pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi). Untuk menguji keberhasilan kompleksitas tersebut dapat dilakukan melalui beberapa standardisasi yang berlaku dewasa ini seperti BAN PT / ISO 9001:2008 / SNI / TQM / Kurikulum KKNI /SNPT. Jika beberapa parameter yang telah distandardkan dapat diukur dan direpresentasikan dengan cepat, tepat, dan akurat, maka dapat disimpulkan bahwa Integrasi basis data yang diterapkan telah menunjang Implementasi ABC untuk menjalankan tugas Tridharma Perguruan Tinggi / Industri Manufaktur.

Seringkali kita mendengar pembicaraan / bahan guyonan berikut :

  • “Jumlah karyawan yang ada di kantor kita kurang sehingga perlu dilakukan perekrutan karyawan baru” dan “jumlah karyawan yang ada di kantor kita terlalu banyak sehingga perlu dilakukan pengurangan jumlah karyawan”
  • “Santai saja dalam bekerja, toh walaupun kerja keras ataupun kerja santai sama saja, tidak akan berdampak pada kenaikan gaji, pemberian insentif, dan bonus”
  • “Kenapa saya yang bekerja keras dalam menuangkan ide dan melaksanakannya, kok dia yang mendapatkan penghargaan ? Padahal dia menggunakan jurus ‘Taichi’ alias mendelegasikan pekerjaannya kepada bawahannya.
  • Ditinjau dari cash flow perusahaan, kondisi kita baik sekali, tetapi kenapa bonus yang diberikan tidak sebanding dengan prestasi kerja yang kita lakukan ? Kemanakah profit dan benefit yang telah diupayakan perusahaan ?
  • Perguruan tinggi kita dalam kondisi baik sekali dan bahkan telah terakreditasi dengan predikat ‘A’, tapi kenapa ada masalah dalam penerapan Tridarma Perguruan Tinggi yang selalu dikeluhkan oleh Dosen dan Tenaga Penunjang lainnya ? Kenapa masih saja ada ‘kecemburuan’ diantara dosen, tenaga pengajar, dan unsur tenaga penunjang lainnya ?
  • Apa saja sih tugas dia ? Mentang-mentang jadi pejabat bisanya hanya menyuruh saja ? Adakah strategi yang dia terapkan untuk memajukan institusi ini ?
  • Kenapa dosen di perguruan tinggi lain terbiasa di luar (bukan dosen luar biasa), sedangkan di institusi kita harus 40 jam dalam satu minggu full bekerja ? Apakah ada jaminan selama 40 jam akan digunakan dengan efektif dan efisien ? Padahal kerjaannya hanya ‘main internet saja’ dan terekam dlam sehari delapan jam koneksi internet terhubung terus.
  • Saya duluan bekerja di tempat kerja ini, tetapi kenapa dia memiliki peluang naik jabatan dan terbuka kesempatannya ? Diakan karyawan baru di Institusi ini ?
  • Kita berikan penghargaan terhadap karyawan ataupun unit yang dapat menekan biaya pengeluaran sebesar-besarnya (konsep pelit), padahal kita mengetahui bahwa ada batasan toleransi untuk menjalankan suatu aktivitas, perlu dicatat perbedaan diantara profit dan benefit.
  • Mau menggunakan sistem yang mana lagi ? Terlalu rumit dan susah mengimplementasikannya, terlalu berbelit-belit, tidak user friendly, dll.

Alternatif obat penawarnya

Sudah banyak sistem yang dikembangkan, dibeli, dan diimplementasikan dengan memakan biaya, waktu, dan pengorbanan yang tidak dapat dihitung. Sudah banyak buku, literatur, materi pelatihan, hasil penelitian yang diterbitkan untuk menjawabnya. Namun sebagian besar bersifat parsial atau hanya berlaku untuk suatu institusi saja dan tidak bersifat general, minimal bentuk generiknya.

Namun ada suatu model yang disebut dengan PUSAT BIAYA (COST CENTER) yang menurut saya akan menjadi obat penawar untuk menjawab saripati yang sulit dijawab di atas. Model dan sistem ini dibangun sudah sejak lama dengan pendekatan penerjemahan Tridharma Perguruan tinggi ke dalam aktivitas : PENDIDIKAN, PRODUKSI, PELATIHAN, KONSULTASI dan REKAYASA. Seperti layaknya pendidikan di luar sana yang menjadikan Institusi Pendidikan sebagai ujung tombak untuk melahirkan teorema-teorema baru atau teknologi-teknologi baru tepat guna. Oleh karenanya saya mencoba untuk pemaparkan tulisan ini.

Sebagai ilustrasi pengukuran : untuk mengukur satuan panjang bisa digunakan mistar plastik (kecermatan 1 mm), atau bisa menggunakan mistar ingsut (kecermatan 0.02 mm), atau bisa menggunakan micrometer (kecermatan 0,001 mm). Yang jelas semakin cermat alat ukur yang digunakan, maka harga pengadaannya semakin mahal karena kerumitan mekanismenya, ketepatan pengukurannya, kecermatan dalam pemakaiannya.

DEFINISI DAN BENTUK PENERAPAN SISTEM ACTIVITY BASED COSTING / BIAYA BERBASIS AKTIVITAS

Konsep dasar ABC berkembang pesat dan ahli manajemen biaya telah banyak mendefinisikannya. Melalui beberapa buku literatur telah dijelaskan pula manfaat atau kebaikannya, serta keberatan-keberatan terhadap penggunaan metoda ABC. Dari sekian banyak definisi yang ada maka saya utarakan definisi berikut :

Horngren, George Foster, dan Srikant Datar [Cos Accounting-A Managerial Emphasis (1993), hal 939, mendefinisikan ABC sebagai suatu pendekatan kalkulasi biaya yang fokus pada aktivitas sebagai obyek biaya yang fundamental. ABC menggunakan biaya pada aktivitas tersebut sebagai dasar untuk mengalokasikan biaya ke obyek biaya yang lain seperti produk, jasa, atau pelanggan.

Kata kunci berdasarkan definisi tersebut terletak pada ‘fokus pada aktivitas’ dan ‘pengalokasian biaya ke obyek biaya’. Pemaparan kedepan merupakan langkah-langkah / persyaratan-persyaratan yang sebaiknya dipenuhi dalam menerapkan ABC.

Kata pakar ekonomi dan keuangan lainnya, ABC didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengukur biaya dan unjuk kerja proses yang berhubungan dengan aktivitas proses dan objek biaya; atau Penetapan biaya aktivitas berdasarkan sumberdaya yang digunakan dan penetapan biaya atas objek biaya seperti pada produk atau pelanggan berdasarkan aktivitas yang dilakukan; atau Pengakuan atas hubungan kausal pemicu biaya terhadap aktivitas, atau dll …………………

Seringkali ‘tolok ukur’ pencapaian tujuan didasarkan atas satuan mata uang (profit), dan sangat jarang memperhatikan satuan lainnya (nilai tambah selain uang) yang disebut dengan benefit. Hal tersebut terjadi dikarenakan uang mudah dihitung dan satuan lainnya sulit dikonversikan ke dalam nilai mata uang karena mungkin tidak berhubungan sama sekali. Sayangnya, keberhasilan suatu institusi ditetapkan berdasarkan profit dan benefit, sehingga perlu menerjemahkannya ke dalam bentuk alat ukur yang digunakan. Analoginya sederhana, bahwa semua alat ukur memiliki tingkat kecermatan, dan tentunya semakin cermat alat ukur umumnya harganya semakin mahal karena menggunakan teknologi yang canggih, dan kemampuannya lebih tinggi karena umumnya dapat mengukur sesuatu yang kompleks yang tidak dapat diukur oleh alat ukur biasa.

 Gambar-01_Analogi Pengukuran Geometrik vs ABC

Gambar 1. Analogi pengukuran geometric dengan biaya berbasis aktivitas (activity based costing)

Pada kondisi lainnya seringkali dijumpai bahwa uraian aktivitas tidak didefinisikan dan dibakukan dengan jelas. Sehingga menjadi bias manakala seseorang duduk di depan komputer, akan timbul pertanyaan : apakah yang sedang ia lakukan ? apakah yang ia lakukan merupakan kewajibannya sebagai seorang karyawan ? apakah yang bersangkutan dalam waktu yang sama dapat mengerjakan beberapa pekerjaan secara sekaligus waktunya ? apakah porsi waktu seorang karyawan telah dideskripsikan secara jelas dalam bentuk prosentase waktu ataupun satuan lainnya ? Pertanyaan yang terakhir adalah bagaimana cara mengukur efektivitas dan efisiensi karyawan tersebut ? (padahal semua parameternya telah dituliskan dalam kontrak kerja atau dalam peran dan akuntabilitas). Tentunya pengukuran tersebut berbeda dengan pengukuran aktivitas yang menuntut fisik kita hadir di tempat aktivitas tersebut.

 Gambar-02_Mengukur Kinerja di Depan Komputer

Gambar 2. Mengukur kinerja di depan komputer

Tidak sedikit juga institusi yang dalam memutuskan sesuatu seringkali diawali dengan rapat-rapat yang panjang. Tujuannya baik bahwa musyawarah dilakukan untuk mufakat dan mendistribusikan tanggungjawab bahwa keputusan yang diambil telah dibicarakan dan dibahas sebelumnya dengan melibatkan seluruh unsur institusi. Namun perlu dicatat apakah pencapaian tujuan rapat tersebut telah menghasilkan suatu keputusan yang tepat dan teliti ? Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilannya ? Apakah pengukuran telah dilakukan dengan membandingkan profit dan benefit yang akan diperoleh ?

 Gambar-03_Efektivitas dan Efisiensi Rapat Kerja

Gambar 3. Efektivitas dan efisiensi rapat kerja

Banyak Institusi-institusi besar yang menyandarkan penilaian keberhasilan didasarkan hanya atas ‘selisih anggaran perencanaan dan selisih anggaran pengeluaran’ sehingga jalan yang sering ditempuh adalah upaya pengurangan biaya untuk seluruh unit pelaksana tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya (manajer yang berhasil adalah manajer yang dapat menekan biaya sampai sekecil mungkin, bahkan terlihat tidak rasional ?). Pengukuran yang dilakukan pun seringkali dilakukan secara rata-rata total dalam kurun waktu tertentu, dan umumnya disandingkan dengan anggaran / budget yang telah ditetapkan. Prinsip subsidi silangpun dihilangkan dengan asumsi bahwa perencanaan yang dibuat telah matang dan tidak terpengaruh faktor eksternal.

Dewasa ini penilaian atas suatu kinerja perlu didasari berdasarkan pembagian fase-fase perencanaan, pemantauan, dan pengendalian. Yang berarti ada ukuran untuk menentukan efektivitas dan efisiensi yang diukur pada saat fase perencanaan, pemantauan, dan pengendalian. Pengukuran yang dilakukan harus dapat memisahkan kebutuhan-kebutuhan berdasarkan : mesin, tenaga kerja, departemen, kegiatan, order, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang beragam jumlahnya.

Pengukuran yang dilakukan secara detail akan memerlukan sumber basis data dan sistem pengklasifikasian umum yang berlaku di dalam dunia industri manufaktur. Rancangan sistem basis data harus cermat dan mewakili tahapan-tahapan perencanaan, pemantauan, dan pengendalian yang dilakukan yang terkait satu-sama lainnya dan menjadi pemicu munculnya biaya yang akan dihitung. Rancangan basis data yang dibuat akan mengikuti alur prosedur ‘business process’ yang akan, sedang, ataupun pengembangan kedepannya yang akan dilakukan.

Tidak jarang suatu ukuran tertentu dihasilkan melalui penggabungan beberapa aktivitas tertentu yang dilakukan oleh berbagai personal dengan pengklasifikasian yang berbeda, dan berada pada beberapa departemen yang berbeda, bahkan menggunakan beberapa sumberdaya berbeda (sangat kompleks). Penggabungan beberapa data tersebut tidak akan pernah berhasil dilakukan jika rancangan tidak dibuat berdasarkan kode/penomoran unik yang dapat mewakili seluruh elemen-elemen terkait/pembentuknya.

 Gambar-04_Pemilihan Alat Ukur

Gambar 4. Pemilihan alat ukur untuk menentukan efektivitas dan efisiensi

Setelah rancangan tersebut dibuat, perlu untuk melakukan sosialisasi berkaitan dengan implementasi sistem yang akan dijalankan. Tidak jarang untuk mengimplementasikan suatu sistem yang baru, selalu diiringi dengan gejolak-gejolak yang dikaitkan atas : rumitnya menjalankan sistem tersebut, usaha dan dampak dalam menjalankan sistem baru tersebut (riak-riak dalam suatu organisasi adalah biasa).

Namun, kita semua sepakat bahwa : untuk mendapatkan pengukuran efektivita dan efisiensi yang teliti, maka pengukurannya pun harus dilakukan secara cermat dan teliti juga. Melalui sistem yang akan diimplementasikan berikut akan menjawab tantangan tersebut (setidaknya penulis telah membuktikannya di Politeknik Manufaktur Bandung pada saat menerapkan sistem manufaktur terintegrasi yang melibatkan aktiviatas : Pendidikan, Produksi, Pelatihan, Konsultasi, dan Rekayasa/penterjemahan Tri Dharma Perguruan Tinggi ke dalam P3KR) selama tahun 2001-2004. Demikian pula penulis berkeyakinan bahwa implementasi yang dilakukan dengan benar dan tepat, dapat menjawab / penjadi obat penawar bagi penyakit kangker ganas berupa KORUPSI yang tengah marak menghiasi wajah negeri ini (yang telah menggerogoti hampir semua organ tubuh atau struktur pembentuk yang ada di negeri tercinta ini). Dan untuk menanggulanginya perlu komitment tertulis yang tegas terhadap institusi dan terlebih kepada sang Khalik tempat kita kelak akan kembali.

 Gambar-05_Komitmen Penerapan Biaya-Cost Center

Gambar 5. Komitmen tertulis dan terjemahan peta kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi

Sebelum tahapan-tahapan detil pelaksanaannya dipaparkan, saya utarakan penyakit kangker ganas yang sering hadir pada suatu institusi, yaitu menganggap bahwa bagiannya lebih penting dari bagian lainnya di dalam suatu organisasi, sehingga program pengembangan, hak-hak karyawan ingin lebih diutamakan dibandingkan dengan bagian lainnya. Ingat bahwa di dalam suatu organisasi bahwa keberadaan seluruh unsur penting (tidak akan ada aku jika dia tidak ada), dan pemberdayaan seluruh unsur merupakan suatu hal mendasar yang perlu diperhatikan (ingat teorema : indirect maintenance cost dan availability capacity for equipment). Perlu juga untuk menyadari posisi kegiatan inti, kegiatan pendukung, dan bagian mana yang berfungsi sebagai penarik/puller dari suatu kegiatan di dalam suatu institusi. Ketidaktahuan yang menyebabkan sesuatu dilakukan dan terlanggar adalah suatu bentuk kewajaran / manusiawi, namun sesuatu yang tidak dilakukan karena tahu akan dampaknya adalah sesuatu yang tidak wajar / tidak manusiawi.

 

TAHAPAN DALAM MERANCANG DAN MENGIMPLEMENTASIKANNYA:

I. PEMETAAN BAGIAN/DEPARTEMENT TERKAIT AKTIVITAS UTAMA YANG DILAKUKAN

Dalam suatu institusi, struktur organisasi akan bergantung kepada business process yang dijalankannya. Semua bagian memiliki derajat kepentingan yang sama untuk menjalankan sistem di dalam suatu institusi, dan secara garis besar dapat dipilah juga berdasarkan karakteristik unsur aktivitasnya. Berdasarkan contoh kasus maka kegiatan institusi dipisahkan menjadi dua jenis yaitu aktivitas kegiatan utama dan aktivitas kegiatan penunjang. Boleh jadi kedua aktivitas utama tersebut dilakukan oleh orang yang sama ataupun oleh departemen yang sama, begitu juga sebaliknya. Kegiatan utama tersebut dapat dipisah lagi berdasarkan bagian / departemen yang melakukannya, atau terdiri atas urutan aktivitas turunannya. Pengklasifikasian ini penting dilakukan mengingat target terhadap pengukuran efektivitas dan efisiensi tidak hanya ditujukan bagi individu pelaksananya saja, melainkan dapat juga dilakukan terhadap suatu bagian/departemen, untuk keseluruhan institusi, untuk suatu aktivitas tertentu, untuk suatu mesin/fasilitas tertentu/proyek tertentu. Penting untuk dicatat, bahwa pengadaan suatu bagian/departemen diperlukan karena ada tuntutan aktivitasnya, dan boleh jadi juga dalam rangka pendistribusian beban pekerjaan berdasarkan aktivitas yang ada pada suatu institusi.

 Gambar-06_Diagram Kegiatan Politeknik Manufaktur Bandung

 Gambar 6. Diagram kegiatan Politeknik Manufaktur Bandung

Dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, Politeknik Manufaktur Bandung mendefinisikan Kegiatan menjadi ‘Kegiatan Inti’ dan ‘Kegiatan Pendukung dan Penunjang’.

Kegiatan Inti diklasifikasikan menjadi :

  1. Pendidikan (Sub : Jurusan Mekanik, Jurusan Gambar dan Perancangan, Jurusan Pengecoran Logam, dan Jurusan Otomasi Manufaktur)
  2. Pelatihan (Sub : Tailor-Made, Modular Based)
  3. Produksi (Sub : Komponen, Perkakas, dan Mesin ; Pola dan Produk Pengecoran Logam; Gambar dan Rancangan; Mekatronika, Otomasi dan Sistem Kendali)
  4. Konsultasi (Sub : Diklat, Teknologi, Bisnis)
  5. Rekayasa/Penelitian (Sub : Rekayasa Manufaktur, Rekayasa Bisnis, Penelitian Terapan, Pengembangan Pendidikan, Pengembangan Institusi, Publikasi & HAKI)

Kegiatan Pendukung dan Penunjang diklasifikasikan menjadi :

  1. Pelayanan Administrasi (Sub : Kependidikan, Kepegawaian, Umum, Keuangan, Logistik)
  2. Pelayanan Teknis (Sub : Multimedia, Komputer, Pemeliharaan, Jaminan Mutu, Perpustakaan, Bahasa)
  3. Pelayanan Masyarakat (Sub : Pemasaran, Penjualan, Rendalprod, Humas, e. Commerce)
  4. Manajerial (Sub : Renstra & Renop, Pengembangan Manajemen, Evaluasi Kinerja, Sisinfo Manajemen)
  5. Kursus (Sub : Diklat Pegawai, Pertemuan Ilmiah, Satgas/Panitya, Perayaan)

 

II. MENENTUKAN SISTEM PENOMORAN PUSAT BIAYA.

Sistem penomoran dirancang untuk mempermudah identifikasi dan pengolahan data menggunakan perangkat lunak yang dibuat. Sistem penomoran terdiri atas:

  • Kode pusat biaya yang merupakan bagian / department yang ada pada suatu institusi
  • Kode kegiatan utama yang terdiri atas kegiatan inti dan kegiatan penunjang/pendukung.
  • Kode kelompok kegiatan yang merupakan penjabaran dari kegiatan utama. Seperti kegiatan utama pendidikan terdiri atas kode kelompok kegiatan : persiapan, pelaksanaan teori, pelaksanaan praktik, bimbingan, evaluasi, ektra kurikuler / kemahasiswaan.
  • Kode jenis kegiatan merupakan penjabaran detail dari kelompok kegiatan seperti pada kelompok kegiatan perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) yang dijabarkan menjadi kegiatan : analisis spesifikasi / fabrikasi; estimasi harga dan waktu; perencanaan bahan, alat/mesin, proses, personil, jadwal; pengendalian/kontrol proses.

Kegiatan dapat diklasifikasikan juga berdasarkan aktivitas operasi yang dilakukan pada suatu mesin/fasilitas tertentu.

 Gambar-07_Penomoran Pusat Biaya

Gambar 7. Penomoran pusat biaya

Pada pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, akan memungkinkan terjadi beberapa kondisi berikut :

  1. Suatu kegiatan utama yang sama dilakukan oleh beberapa unit pelaksana yang berbeda.
  2. Beberapa kegiatan berbeda dilakukan oleh unit kegiatan yang sama.
  3. Beberapa pelaksana melakukan beberapa aktivitas dalam suatu rentang waktu tertentu yang sama atau bahkan berbeda dalam suatu kelompok tertentu seperti kegiatan fungsional dosen.
  4. Suatu kegiatan utama dapat ditunjang pelaksanaannya dengan melibatkan berbagai jenis fasilitas atau mesin tertentu.

Semakin detail penjabaran suatu aktivitas dilakukan maka akan semakin cermat kita dalam melakukan pengukuran efektivitas dan efisiensi, sehingga semakin besar pula peluang kita untuk melakukan perbaikan yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Tujuan akhir kita adalah terkait dengan profit dan benefit. Tidak selamanya benefit yang kita inginkan akan sejalan dengan profit yang diinginkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan nilai tambah yang ada dari pengolahan suatu bahan baku tidak selamanya dapat dinyatakan dalam bentuk satuan rupiah, terkadang untuk memenuhi suatu persyaratan legal aspek maka akan dikeluarkan biaya untuk mengadakannya. Sebagai salah satu contoh benefit adalah : dihasilkannya lulusan yang siap kerja, siap bersaing di bursa tenaga kerja. Ukuran keberhasilan adalah jumlah mahasiswa yang diterima bekerja setelah lulus (sulit untuk dikonversikan menjadi rupiah), dan yang mudah dihitung adalah biaya-biaya melalui program yang telah direalisasikannya, sehingga tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan hanyalah beban pemberat bagi suatu institusi penyandang dana (karena tidak terlihat profitnya). Tantangan kita kedepannya adalah bagaimana mengkonversikan sehingga profit dan benefit akan sejalan (walaupun berat dan tidak sama untuk semua kasus yang terjadi). Minimal memenuhi persyaratan peran dan akuntabilitas yang ada, bahwa benar untuk suatu posisi tertentu dengan uraian aktivitas yang telah ditentukan, semuanya telah dilakukan berdasarkan uraian aktivitas yang ada. Semuanya terekam dengan jelas, tidak mengada-ngada dan tidak dibuat dalam sesaat saja (seumpama 1 x untuk satu tahun aktivitas yang telah dilakukan). Demikian juga dengan pencapaian program kerja, terutama yang menyangkut legal aspect (statutory dan mandatory)

 Gambar-08_Daftar Kegiatan

Gambar 8. Daftar kegiatan

Pada pelaksanaannya, ‘Penomoran Pusat Biaya’ belum mampu untuk memisahkan kode secara spesifik berbasis jenis objek yang akan diukur, sehingga diperlukan pelengkap berupa identitas nomor order yang secara spesifik menunjukkan ciri suatu obyek tertentu, seperti :

  1. Pengkodean Mata Kuliah tertentu sebagai nomor order. Kode tersebut dapat memisahkan : semester pemberian mata kuliah, jumlah SKS mata kuliah bersangkutan, dan pengelompokkan mata kuliah.
  2. Pengkodean Nomor Order berdasarkan Kode Kegiatan Utama seperti contoh berikut:
  •  Permintaan penawaran harga dari pemesan yang dilakukan secara tertulis ke POLMAN di bawah tanggung jawab Unit Pemasaran dan Penjualan (UP2) yang merupakan bagian dari Pusat Pelayanan Masyarakat (PPM). Permintaan penawaran harga tersebut didukung dengan spesifikasi/kriteria, dan/atau contoh produk, dan/atau gambar kerja, dan/atau data CAD (Computer Aided Design). Setiap permintaan penawaran harga yang diterima oleh UP2 diberi nomor kode unik melalui tatacara tertentu.
  • Tidak semua penawaran harga akan sesuai dengan yang diharapkan pelanggan, sehingga akan ada beberapa penawaran harga yang ditolak oleh pemesan ataupun ada beberapa penawaran harga dalam status diterima pemesan (conform). Tata cara penomoran untuk status penawanan yang conform telah distandardkan juga untuk tracking history, seperti :
  • Jenis Pekerjaan, yang diklasifikasikan berdasarkan kegiatan yang dilakukan POLMAN. Klasifikasi tersebut adalah: Production (P), Training (T), Engineering (E), Consultancy (C).
  • Pelaksana, yang diklasifikasikan berdasarkan nama divisi / jurusan pelaksana yang akan melakukan kegiatan tersebut. Divisi pelaksana diklasifikasikan menjadi: Gambar dan Perancangan (G), Foundry (F), Mekanik (M), Otomasi (O), Unit Kerja Lain (L).
  • Nomor oder, yang merupakan nomor permintaan penawaran harga. Nomor tersebut dapat sama dengan nomor permintaan penawaran harga jika untuk satu permintaan penawaran harga terdapat satu jenis produk pesanan ataupun berbeda dengan nomor permintaan penawaran harga. Perbedaan tersebut terjadi jika untuk suatu permintaan penawaran harga terdapat beberapa jenis pesanan.
  • Klasifikasi, berdasarkan huruf kependekan jenis kegiatan ataupun jenis pesanan. Klasifikasi tersebut adalah: General (G), Laboratorium (L), Training (T), Benda tuangan (F), Pola (O), Jig/Fixture (J), Design (D), Konsultasi (K), Mould (M), Dies / Presstool (P), Repair (R), Standarting (S).

 

III. SISTEM PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Merancang sistem yang baru akan mudah dilakukan oleh ahli-ahli yang terdapat di institusi, namun dalam mengimplementasikannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu pemahaman dan kesadaran yang komprehensip, ke arah mana pengukuran akan dilakukan, dan siapkah perangkat yang kita miliki untuk menerjemahkan hasil pengukuran yang kita lakukan. Ingat bahwa tujuan pengukuran adalah untuk menentukan apakah suatu objek ukur berada di dalam daerah toleransi yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika didapat produk jelek apa yang harus dilakukan, dan sebaliknya jika didapat produk bagus maka apa yang harus dilakukan.

Berdasarkan pengalaman penulis tidak sulit untuk mengumpulkan seluruh data yang berasal dari seluruh karyawan “A” sampai dengan “Z”, termasuk didalamnya mahasiswa dan peserta magang (karena terkait dengan kediplinan). Sistem informasi dapat dirancang dengan mudah termasuk dalam implementasi pengumpulan data dan pengolahannya. Yang jelas perangkat lunak yang akan digunakan dapat mengintegrasikan kebutuhan institusi yang multi dimensi dan terkait erat satu sama lainnya. Pengolahan data berikut representasinya harus dapat mengungkap status kegiatan pada fase perencanaan, pemantauan, dan pengendalian. Upaya pencegahan dan tindakan koreksi memungkinkan dilakukan jika didapat suatu aktivitas telah menyimpang dari apa yang telah ditetapkan di awal.

 Gambar-09_Skematik Pengukuran

 Gambar 9. Skema pengukuran terintegrasi

IV. UJICOBA IMLEMENTASI (STUDI KASUS PROFIT SUATU AKTIVITAS)

Dewasa ini sustainability menjadi salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu institusi pendidikan untuk menjamin keberlangsungan pelaksanaan kedepannya. Kita sadari bahwa subsidi yang berasal dari pemerintah sangat terbatas dan sampai kapankun pemerataan tidak akan pernah tercapai tujuannya mengikat variasi yang kental di dunia pendidikan. Sehingga salah satu alternative adalah menjadikan institusi pendidikan menjadi profit center selain benefit center (mohon dibedakan antara profit untuk dosen dan untuk institusi)

Berbagai aktivitas dilakukan oleh institusi pendidikan untuk mendapatkan income tambahan untuk memenuhi biaya operasional dan pengembangan institusi. Umumnya aktivitas yang dilakukan terkait dengan pendidikan, pelatihan, produksi, rekayasa, dan konsultasi. Setiap institusi yang ada memiliki peta kekuatannya masing-masing yang dikaitkan dengan peta kondisi industri dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Core business akan ditetapkan oleh institusi pendidikan dengan mempertimbangkan berbagai hal. Layaknya budaya industri akan ada aktivitas unggulan yang akan dijadikan inti untuk mendapatkan profit.

Namun sayangnya, budaya industri yang ada tidak diikuti semuanya (salah satu yang kental adalah pengukuran terhadap efektivitas dan efisiensi kegiatan yang dilakukan). Mungkin hal tersebut diakibatkan dana yang diperlukan untuk pengukuran cukup besar (umumnya industry karena core activitynya sudah jelas tidak akan sungkan untuk mengimplementasikan perangkat lunak dengan biaya yang besar, sedangkan institusi pendidikan masih berfikir seratus kali untuk pengadaannya dikarenakan kebingungan akan mencari sumber dana dari mana).

Akibatnya adalah seringkali aktivitas unggulan di institusi pendidikan bukannya menjadi unggulan seperti yang telah direncanakan sebelumnya, bahkan menjadi cost expensive besar yang harus ditanggung oleh seluruh karyawan yang ada di institusi pendidikan. Untuk menghindari hal tersebut maka dirancangkah pengukuran yang cermat yang suatu saat dapat dilakukan pada fase perencanaan, pemantauan, pengendalian, dan pasca aktivitas tersebut dilakukan.

Seringkali mata hanya tertuju pada sesuatu yang dapat dinilai secara rupiah seperti pembelian mesin, alat bantu, fasilitas, dan material. Sedangkan aktivitas sangat jarang diukur, kenyataannya bahwa biaya pemrosesan akan memakan biaya yang besar. Sehingga penting dilakukan pengukuran terhadap aktivitas suatu kegiatan yang kelak akan dikalikan dengan rate activity per hour. Sehingga di akhir tujuan, profit dan benefit dari suatu kegiatan dapat disimpulkan hasilnya, dan sebagai bahan untuk perbaikan dikemudian hari.

  Gambar-10_Contoh Kasus Post Calculation

Gambar 10. Contoh kasus pengukuran profit pada post calculation

 V. UJICOBA IMLEMENTASI (STUDI KASUS BENEFIT SUATU AKTIVITAS)

Peran seorang dosen, guru, dan tenaga pengajar sangat penting untuk menghasilkan mutu lulusan yang kompeten. Dalam proses pembelajaran, mutu / kualitas mahasiswa ditentukan dalam bentuk assessment berupa pemberian quiz, test, tugas, midterm examination, final examination. Pengukuran dilakukan secara berjenjang, terstruktur untuk memastikan kualitas mahasiwa. Mahasiswa dengan predikat lulusan terbaik diberi penghargaan, sedangkan yang berpredikat kurang baik diberikan pembinaan untuk menjadi baik. Kualitas mahasiswa yang baik merupakan cerminan dari institusi yang baik dalam pengelolaannya.

Namun seringkali dijumpai bahwa cerminan pengukuran terhadap kualitas mahasiswa bukan merupakan tipikal dari dosen yang membentuknya. Mahasiwa sering menjadi objek pengukuran (untuk kelulusan), namun tidak demikian dengan dosen, terkadang marah dan merasa waktunya terbuang pada saat mempersiapkan data pengukuran, padahal sudah jelas fungsi dan tanggungjawabnya (terlebih bagi yang sudah disertifikasi dosen). Padahal dikti sudah menyiapkan perangkat terintegrasi untuk menilainya, tinggal kesiapan institusi pendidikan masing-masing untuk menerjemahkannya yang disesuaikan dengan kondisi lokal institusi yang ada. Sehingga penting bagi institusi pendidikan yang ada untuk meningkatkan budaya efektif dan efisiensi melalui suatu rancangan sistem yang terintegrasi, yang dapat melakukan pengukuran secermat dan seteliti mungkin.

Bagi institusi yang telah tersertifikasi ISO tentunya faham benar, bahwa alat ukur yang digunakan harus dikalibrasi oleh badan yang berwenang. Kalibrasi suatu alat ukur dilakukan dengan jalan menggunakannya untuk mengukur suatu acuan / master kalibrasi yang memiliki grade lebih tinggi. (Silahkan disimpulkan, akan dikalibrasi terhadap apakah alat-alat pengukur efektivitas dan efisiensi suatu aktivitas yang diterapkan di suatu institusi pendidikan ? ? ?)

 Gambar-11_Rekam Jejak 1991-2004_Duddy Arisandi

Gambar 11. Contoh kasus pengukuran benefit post Activity

 PENUTUP

Gaung ketrampilan menjelang 2020 dan isu MEA 2015 (Masyarakat Ekonomi Asia) sudah pas berhadapan di depan kita. Ini merupakan perjalanan dan strategi jangka panjang. Jauh-jauh hari DIKTI telah mengingatkan kita dan menyiapkan strategi panduan bagi kita, namun belum semuanya siap seperti sesuai yang telah direncanakan. DIKTI akan berjalan seperti kereta cepat yang tidak akan menoleh kepada penumpangnya yang terlambat, dan memiliki senjata ampuh dan canggih berupa multy layer policy yang akan diterapkan berlapis, berjenjang, dan terintegrasi. Tentunya kita berharap bahwa upaya-upaya kecil yang dilakukan per individu atau berkelompok akan membangunkan bangsa yang sedang tertidur ini lewat upaya revolusi mental dan kerja keras. Termasuk kesiapan institusi pendidikan untuk berperan aktif melalui penyiapan program kerja dan rencana penganggarannya. Apapun wujudnya akan memiliki esensi yang sama, alias itu-itu juga ji. Namanya keris pusaka, yang akan semakin tajam dan mengkilap apabila diasah. Walaupun terkubur lama dan berkarat tetaplah namanya keris pusaka yang memiliki petuah, dan siapapun yang akan menemukannya kelak tetap akan mengasahnya dan mempertajamkannya kembali, karena ia adalah keris pusaka berpetuah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Tulisan ini dibuat untuk tujuan berbagi karena penulis telah mencerna benar apa manfaat yang terkandung di dalamnya. Penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada :

  1. Bapak M. Iskandar Nataamijaya (Direktur Politeknik Manufaktur Bandung thn 2001) yang telah menugaskan penulis untuk ‘Membangun Sistem PPC Terintegrasi’ lewat secarik kertas note tulisan tangan yang masih penulis simpan sampai saat ini.
  2. Seluruh jajaran peserta Rapat Pimpinan Politeknik Manufaktur Bandung yang selalu setia rapat Setiap Hari Rabu dengan peserta lebih dari 20 orang.
  3. Teman-teman di seluruh jurusan dan unit yang membantu dengan langsung ataupun dengan kritis terhadap proyek ini, termasuk team penghasil buku cost center.
  4. Bapak Agus Widarsa, Bapak Yoyok, Bapak Budi, Bapak Pramudia Hartadi, Ibu Wiwiek Djunaedi, Ibu Yanti, atas kemudahan untuk mengakses data-data yang diperlukan untuk kebutuhan proyek ini.
  5. Bapak Indra Djodikusumo yang telah memberikan ilmu dan kesempatan mempelajari Sistem Produksi khususnya Perencanaan dan Pengendalian Produksi.
  6. Teman-teman seperjuangan di Bungker FTI-ITB yang menggeluti sistem produksi : Hidayat Rudyanto, Boni, dan Ampala Kharyatun.

Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari kelemahan yang ada pada diri penulis sehingga tetap perlu diberi masukan yang membangun. Dan penulis dengan senang hati jika suatu saat diperlukan sebagai rekan diskusi terkait topic yang dibahas. Jika diperlukan, buku cost center Polman dapat didownload pada menu Sistem Manajemen Mutu Pendidikan.

 

Wassalam

Soroako, 25 Desember 2015

Duddy Arisandi

Akademi Teknik Soroako

 
8 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 25, 2015 inci Pendidikan, Sistem Pendidikan

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

KETERAMPILAN MENJELANG 2020 (SKILL TOWARD 2020) (bagian I / Part 1)

KETERAMPILAN MENJELANG 2020  (SKILL TOWARD 2020) (bagian I / Part 1)

Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat ditentukan dalam waktu yang singkat, merupakan suatu proses kreasi yang memerlukan waktu panjang. Apa yang ada sekarang adalah ‘buah’ dari upaya/usaha pada masa lampau. Pada catatan sejarah akan tertulis: Apakah kita berada pada posisi ‘pemerhati’, ‘pengamat’, atau ‘sebagai bagian dari pelaku torehan sejarah’.

Kita tidak mungkin memutar ‘jam waktu’ untuk kembali ke sejarah masa lampau, namun kita dapat mengingat bahwa kekeliruan dari ‘sejarah masa lampau’ harus dibayar mahal oleh beberapa pelaku di generasi kedepannya. Dan yang terpenting, melalui sejarah masa lampau akan senantiasa memacu kita untuk memperbaiki kondisi yang ada dimasa sekarang dan merencanakan kembali untuk menentukan langkah di masa yang akan datang.

Laporan interim ini sengaja saya munculkan kembali, untuk ‘mengenang’ bahwa’ pemikir-pemikir pendidikan di masa lampau dapat ‘membaca zaman menerobos waktu kedepan sampai dengan puluhan tahun’ , dan tugas kami sebagai generasi berikutnya adalah ‘melanjutkan apa yang sudah baik’ dan ‘memperbaiki apa yang kurang’.

Tak lupa saya utarakan, adalah suatu kebahagiaan khusus dapat berdiskusi dengan Bapak Hadi Waratama & Bapak Wardiman Djoyonegoro………………(Duddy Arisandi)

PENGANTAR LAPORAN

Profesor Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro  

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Dengan hormat,

Pada bulan April 1995, Bapak telah membentuk Satuan Tugas Perumus Kebijakan Pengembangan Pendidikan Kejuruan untuk mengkaji dan membuat saran-saran penting arah kebijakan pendidikan dan pelatihan kejuruan serta langkah-langkah yang harus diambil untuk melaksanakan kebijakan Link and Match. Satuan Tugas tersebut terdiri dari Kelompok Kerja dan Kelompok Pengarah, yang komposisi keanggotaannya sedemikian rupa, sehingga wakil dari tokoh-tokoh industri maupun dari Departemen-departemen dan lembaga-lembaga lain yang terkait, ikut duduk dan berperan aktif didalamnya.

Susunan keanggotaan Kelompok Pengarah dan Kelompok Kerja tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 Laporan ini. Kami sangat menghargai kedalaman pengertian dan perhatian mereka terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan serta kontribusi mereka dalam pemikiran-pemikiran yang sangat berbobot, yang tertuang dalam Laporan ini.

Satuan Tugas juga telah dibantu oleh pemerintah Australia, Jerman, dan Swiss sehingga Satuan Tugas berkesempatan melakukan kunjungan studi banding ke negara-negara Australia, Jerman, Swiss, Belanda, Inggris, Thailand, Korea dan Taiwan. Studi banding tersebut telah memungkinkan Satuan Tugas untuk menyaksikan dan mengkaji secara langsung, diskusi-diskusi dengan pejabat-pejabat di negara tersebut, tentang sistem pendidikan pada umumnya, serta pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan pada khususnya. Pemerintah Australia juga telah memberikan bantuan seorang tenaga ahli seniornya kepada Satuan Tugas untuk membantu persiapan penyusunan Laporan ini.

Sekarang kami merasa mendapat kehormatan untuk menyerahkan kepada Bapak Menteri Laporan Satuan Tugas dalam bentuk Laporan Interim, yang kami beri judul ‘KETERAMPILAN MENJELANG 2020’.

Konsep-konsep pemikiran yang tertuang  dalam Laporan ini mendapat dukungan sepenuhnya dari Kelompok Pengarah maupun Kelompok Kerja. Bahkan anggota-anggota dari kedua kelompok tersebut, yang berasal dari kalangan industri, menyatakan kesediaannya untuk nemberikan dukungan dan bantuan di dalam pelaksanaan dan usulan-usulan kami tersebut dikemudian hari. Walaupun demikian, sebagai kelengkapan Laporan ini, masih dilakukan penjajagan-penjajagan untuk memperoleh umpan balik dan tanggapan dari para birokrat pemerintah pusat maupun daerah, para pelaku ekonomi/industri yang bukan anggota Satuan Tugas, lembaga-lembaga lain, sekolah­-sekolah, dan guru yang mempunyai kaitan erat dalam pelaksanaan usulan-usulan pada masa mendatang.

Sekarang kila memiliki celah kesempatan untuk melakukan perbaikan yang mendasar bagi sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan yang akhirnya diharapkan akan sangat bermanfaat bagi Indonesia.

Dalam kesempatan ini kami juga ingin menyatakan rasa terima kasih kami kepada mereka yang sampai saat telah membantu terlaksananya penyusunan Laporan Satuan Tugas ini. Mereka itu termasuk para staf dart PPPG Kejuruan Bandung, Malang, dan Sawangan dan juga anggota staf POLMAN-ITB. Sekretariat Satuan Tugas juga memiliki andil yang cukup besar dalam menyelesaikan Laporan ini.

Ada tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam implementasi dari usulan-usulan dalam Laporan ini.

Yang pertama ialah langkah-langkah yang diperlukan, khususnya dalam hubungan antara Depdikbud, industri dan Departemen-departemen lain yang terkait. Satuan Tugas menyimpulkan dalam Laporan ini bahwa Depdikbud, Departemen-departemen lain, dan industri hanya akan mampu melaksanakan misinya dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan sebaik-baiknya, bila semuanya mengacu dan bekerja di dalam satu kerangka kerja yang sama

Ini selaras dengan pendekatan kebijakan yang telah Bapak tuangkan dalam pidato tanggal 17 Juli 1995 dalam Seminar “Education and Training for Industry Growth” di Jakarta.

Sebagai langkah awal, kami ingin mengusulkan supaya mengundang Pengurus Pusat KADIN agar dapat memprakarsai suatu forum antara Depdikbud, Depnaker, Departemen-departemen lain, dan industri guna membahas masalah-masalah ini. Dengan demikian akan tercipta langkah-langkah menuju konsensus nasional terhadap sistem yang berlandaskan kompetensi industri tersebut.

Yang kedua ialah langkah-langkah yang diperlukan dalam lingkup Depdikbud, khususnya untuk pelaksanaan usulan-usulan dalam Laporan ini, yang berkaitan dengan standar-standar keterampilan industri. Laporan ini mengusulkan supaya dibentuk suatu Unit Pelaksana Standar Keterampilan Kejuruan (UPSKK) di lingkungan Depdikbud, sehingga dapat dengan segera memulai mengembangkan standar-standar kompetensi industri, khususnya di sektor-sektor industri yang sudah menyatakan minatnya untuk berpartisipasi. Ini tentunya meliputi industri-industri yang telah termasuk di dalam MPKN. Unit ini juga akan mempunyai tanggung jawab terhadap struktur baru, seperti yang diusulkan dalam paragraf 8 dari Laporan ini. Kami rasa ini merupakan prioritas utama.

Yang ketiga ialah menyangkut bebeapa hal yang berkaitan dengan Depdikbud sendiri. Hal-hal ini antara lain mengenai peninjauan ulang terhadap struktur dari program-program SMK (“paragraf 4), perlunya perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar untuk memacu fleksibilitas, pengakuan terhadap apa yang telah dipelajari sebelumnya (recognition of prior learning) dan kemungkinan alih jalur dan program (transferability) (paragraf 5).

Ada juga hal-hal yang menyangkut prioritas pengembangan SMK khususnya investasi dalam perangkat keras dan fasilitas (paragraf 4) dan perbaikan mutu serta pelimpahan wewenang, prakarsa, dan pengelolaan bagi masing-masing SMK negeri maupun swasta (paragraf 6). Hal-hal ini perlu mendapat perhatian di lingkungan Depdikhud karena menyangkut hubungan antar beberapa direktorat. Kami usulkan supaya ada suatu Kelompok Pengembangan Pendidikan Kejuruan (KPPK) di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang mempunyai tugas untuk melaksanakan UPSKK, balk untuk SMK negeri maupun swasta dan kursus­-kursus (Lampiran 3).

Sekali lagi kami sarnpaikan bahwa Laporan ini hakekatnya telah mendapat dukungan yang luas dari industri dan Departemen/instansi lain, tugas selanjutnya yang utama ialah mencari jalan supaya dapat dilaksanakan secara bersama dalam satu keterpaduan kerangka kerja, sehingga memberikan manfaat maksimal hagi Indonesia.

Sebagai akhir kata, kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak Menteri terhadap Satuan Tugas, sehingga berkenan menerima Laporan Interim `KETERAMPILAN MENJELANG 2020′ ini.

Jakarta, Desember 1995 Hormat kami,

Ir. Hadiwaratama MSc.E.                      Prof. Dr. Ir. Sri Hardjoko Wirjomartono

Ketua Kelompok Kerja                         Ketua Kelompok Pengarah

INFORMASI UMUM

Laporan ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa pembaca telah memahami sistem, struktur, dan kelembagaan yang terkait dalam pendidikan menengah kejuruan di Indonesia. Laporan ini menggunakan akronim dan singkatan-singkatan yang biasa dipergunakan di Indonesia. Bagi pembaca yang belum memahami sistem dan istilah-­istilah pendidikan kita, informasi ini menguraikan unsur-unsur pokok dari sistem dan lembaga pendidikan yang dijadikan acuan penulisan Laporan ini.

Adapun pokok-pokok sistem pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pendidikan Dasar enam tahun yang dilanjutkan tiga tahun pendidikan menengah pertama. Sampai pada tingkat ini sekarang dikenal sebagai pendidikan dasar sembilan tahun yang mulai dicanangkan sebagai sasaran wajib belajar sembilan tahun.

Pada tingkat lanjutan atas dibagi menjadi dua jenis jalur pendidikan. Jalur pendidiikan “umum” dilaksanakan melalui SMU, sebelumnya disebut SMA. Jalur yang lain adalah pendidikan “kejuruan” yang dilaksanakan melalui sekolah kejuruan yang secara umum disebut SMK. Setiap SMK mempunyai program pendidikan yang khusus dan jenisnya dapat diketahui berdasarkan spesialisasi bidang studinya. Dua kelompok SMK yang terbesar adalah SMEA dengan bidang studi bisnis/ekonomi dan STM dengan spesialisasi studi keteknikan seperti: otomotif/bangunan/mesin/ listrik, dan lain-lain. Jumlah seluruh siswa SMEA adalah 50% dan STM 38% dari jumlah siswa di seluruh sekolah kejuruan. Sedangkan 12% sisanya adalah siswa di SMK dengan bidang studi lain seperti kerumah­tanggaan, tekstil, seni dan kerajinan, dan lain-lain.

Jumlah keseluruhan siswa mencapai sekitar 1,4 juta, baik di SMK Negeri maupun Swasta, dimana lebih dari 65% siswa belajar di SMK Swasta. Pendidikan di SMK berlangsung selama tiga tahun kecuali untuk beberapa jenis SMK berlangsung selama empat tahun. Rata-rata pelajar SMK umumnya adalah dalam kelompok usia 16 – 19 tahun, meskipun demikian beberapa SMK juga menyelenggara­kan kursus-kursus non-formal bagi kelompok diluar usia tersebut.

Pendidikan tinggi merupakan jalur pendidikan formal lanjutan dan terdiri dari dua jalur. Yang pertama adalah jalur Akademik yang melaksanakan program pendidikan akademik dengan pemberian gelar Sarjana, Magister dan Doktor. Yang kedua adalah jalur pendidikan Profesional yang melaksanakan program-program pendidikan dalam bidang-­bidang kejuruan tertentu dan memberikan Diploma-diploma yang tergantung dari lama studinya yaitu 1, 2, 3, dan 4 tahun. Program-program ini dapat pula dilanjutkan kependidikan tingkat spesialis. Universitas, Institut, -dan Sekolah Tinggi memberikan gelar akademik maupun diploma, sedang Politeknik dan Akademi hanya memberikan diploma. Meskipun jalur dan bidang pendidikan di Politeknik sama dengan di SMK, tetapi masukannya pada umumnya berasal dari SMU setelah melalui ujian saringan masuk yang sangat bersaing.

Sistem yang diuraikan di atas berada didalam lingkup tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud menyediakan dana dan arahan kebijakan untuk lembaga-lembaga pendidikan pemerintah dan mengawasi pendaftaran, ujian dan fungsi­fungsi koordinasi lain untuk lembaga pendidikan swasta. Lembaga pendidikan swasta mendapat bantuan yang terbatas sifatnya dari pemerintah. Dalam sistem pendidikan dan pelatihan di Indonesia, pendidikan luar sekolah menyediakan kursus-kursus khusus dalam berbagai bidang baik kejuruan maupun non-kejuruan. Lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan dalam sektor ini harus terdaftar di Depdikbud.

Selain Depdikbud, beberapa departemen pemerintah lain juga melaksanakan program-program pelatihan. Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) mempunyai lebih dari 150 pusat pelatihan yang disebut sebagai BLK. BLK disediakan bagi para pencari kerja baru, termasuk lulusan sekolah yang belum bekerja. BLK telah mulai mengembangkan sistem permagangan. Departemen-departemen lain juga mempunyai pusat pelatihan dan SMK yang relevan dengan bidang mereka. Sebagai contoh, Departemen. Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi mempunyai beberapa SMK, pusat pelatihan dan lembaga pendidikan tinggi yang sesuai dengan ruang lingkup departemen tersebut.

Dalam Struktur Organisasi Depdikbud terdapat empat Direktur Jenderal yang langsung berada di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satunya adalah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Di bawah Dirjen Dikdasmen ada Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) yang bertanggung jawab atas pengelolaan 700 SMK Negeri. Direktorat Sekolah Swasta mempunyai tugas dan wewenang dalam pembinaan bagi seluruh sekolah swasta, termasuk didalamnya ± 3.000 SMK swasta.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bertanggung jawab terhadap masalah-masalah pendidikan tinggi termasuk Politeknik. Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olah Raga bertanggung jawab antara lain atas registrasi dan pengawasan/ pembinaan penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Banyak perusahaan besar yang mempunyai program pelatihan yang lengkap dan terstruktur bagi staf mereka. Badan-badan profesional juga mempunyai beberapa pusat pelatihan untuk memenuhi kebutuhan profesional bagi anggotanya. Sebagian besar dari pelatihan ini tidak mengacu pada kualifikasi yang baku dan diakui.

Laporan ini juga membahas Pendidikan Sistem Ganda yang diilhami dari dual system. Sistem ini merupakan inovasi pada program SMK, dimana siswa melakukan program kerja nyata (magang) di perusahaan/industri yang merupakan bagian integral dari Proses Belajar Mengajar SMK. Dalam Program Sistem Ganda siswa hanya menjalankan magang selama beberapa bulan pada saat mereka kelas 3; dan belum ada kaitan hukum antara siswa dan pengusaha.

Bagaimanapun Sistem Ganda merupakan suatu langkah nyata (substantial) untuk membuat sistem pendidikan kejuruan lebih relevan dengan dunia kerja dan sekaligus mengkaitkan SMK dengan industri di wilayah sekitarnya. Sistem tersebut saat ini sedang dimasyarakatkan secara intensif.

SEKILAS TENTANG LAPORAN INI

Didalam Laporan ini tertuang usulan/saran-saran tentang tindak lanjut dari kebijakan pendidikan dan pelatihan kejuruan yang telah dicanangkan oleh Mendikbud. Langkah-­langkah pelaksanaan kebijakan tersebut khususnya meliputi hal-hal sebagai berikut:

  • Industri akan berperan aktif dalam pengembangan standar sebagai dasar dari bahan belajar-mengajar, pengujian, dan sertifikasi keterampilan. Untuk tahun-tahun pertama pekerjaan ini akan dibuat berdasarkan struktur industri maupun pendidikan yang sudah ada dan akan dikonsentrasikan dalam lingkup terbatas pada beberapa bidang industri tertentu. Penekanan kegiatan akan ditujukan pada pembuatan bahan-­bahan belajar-mengajar yang bermutu tinggi, yang dirancang sesuai kebutuhan Indonesia dan diperuntukkan bagi seluruh penyelenggara pendidikan dan pelatihan kejuruan.
  • Pendekatan baru tersebut akan dilaksanakan di SMK dan dirancang sehingga dapat juga digunakan oleh pusat-pusat pelatihan industri dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dilingkup departemen-departemen lain. Sasarannya adalah agar terbuka jalan bagi tenaga kerja yang ada untuk dapat mengikuti pelatihan dan sertifikasi keterampilan yang sama seperti yang tersedia bagi pelajar pada sektor pendidikan formal. Prioritas diarahkan pada penyediaan pelatihan yang relevan dengan yang dibutuhkan tenaga kerja yang ada.
  • Sertifikasi akan dilaksanakan dengan sistem “paspor keterampilan” yang memuat keterampilan-keterampilan berbasis kompetensi industri yang dimiliki oleh pemegangnya. Sistem ini pada awalnya akan melengkapi sistem pemberian gelar akademik, diploma, ijazah, dan sertifikasi yang sekarang ada.
  • Industri akan selalu terlibat dalam semua tingkat pengelolaan sistem baru ini. Pada tingkat nasional, diusulkan untuk dibentuk Dewan Pendidikan dan. Pelatihan Kejuruan Nasional (National Vocational Education and Training Council), dan Badan Pelaksana Standar Keterampilan Kejuruan ( Vocational Standard Implementation Agency). Di tingkat provinsi/wilayah diusulkan untuk dibentuk lembaga yang mendukung badan nasional tersebut. Sambil menanti pembentukan badan-badan nasional tersebut, diusulkan untuk dibentuk suatu Unit Pelaksana Standar Keterampilan Kejuruan (Vocational Standard Implementation Unit). Unit ini untuk sementara akan berada di Depdikbud tetapi akan menjalin kerja sama dengan departemen-departemen lain yang mempunyai kepentingan yang sama.
  •  Suatu program peningkatan mutu SMK juga akan disusun. Program ini akan memperkenalkan apa yang disebut Kesepakatan Kinerja (Performance Agreements) sebagai suatu sarana pokok yang memuat rencana kerja dan sekaligus sebagai alat ukur unjuk kerja masing-masing SMK. Untuk dapat melaksanakan pelimpahan tugas-tugas administratif ini dengan benar, diperlukan suatu usaha pengembangan staf secara besar-besaran. Program Total Quality Management akan menjadi bagian dari program peningkatan mutu secara keseluruhan.
  • Kesepakatan Kinerja juga akan menjadi alat bagi SMK untuk meningkatkan tanggung jawabnya terhadap Sistem Ganda.
  • Diperlukan suatu kampanye/penyebarluasan informasi dan promosi tentang Sistem Ganda kepada masyarakat luas, terutama industri dimana sistem baru tersebut diperkenalkan.

Bagian Pertama

PENDIDIKAN KEJURUAN UNTUK MASA DEPAN INDONESIA

1.1 Menjelang tahun 2020 perekonomian Indonesia akan berubah dan berkembang ke arah perekonornian global, sehingga perusahaan dan industrinya dituntut untuk mampu bersaing di pasar regional maupun global. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mengelola dan mengembangkan berbagai sumber dayanya dengan baik. Sumber daya terbarukan (renewable) apa yang paling berharga bagi Indonesia? Jawabnya tidak lain adalah keterampilan, keahlian dan kemauan yang kuat bangsa Indonesia. Laporan ini memaparkan upaya peningkatan nilai tambah pada salah satu sumberdaya yang dimaksudkan di atas, yaitu dengan cara meningkatkan keterampilan dan ke­ahlian generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja dan melatih ulang serta meningkatkan keterampilan dan keahlian bagi mereka yang sudah bekerja, agar tetap selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar. “Sumber daya Indonesia yang paling berharga ialah keterampilan dan keahlian bangsanya”

1.2 Laporan ini memuat usulan pengembangan suatu sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan industri. Untuk dapat mencapai tujuan ini, kerja sama yang erat antara penyelenggara pendidikan dan pelatihan dengan industri harus dikembangkan dalam menetapkan berbagai standar keahlian, pengembangan kurikulum, dan kebijakan pengelolaan sistem. Secara umum usulan pengembangan ini dirancang atas dasar kebijakan ‘LINK and MATCH’ yang sedang diterapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Selain itu, diusulkan pula rencana kebijakan pengembangan sistem `Pelatihan berbasis kompetensi industri’ (Competency Based Training) di Indonesia serta tindak lanjutmya. Meskipun demikian, disadari bahwa banyak saran dalam laporan ini mempunyai implikasi melampaui ruang lingkup Depdikbud, karena meliputi pula pelatihan tenaga kerja yang dilaksanakan oleh industri sendiri ataupun oleh departemen-departemen lain. “Laporan ini dirancang atas dasar kebijakan `LINK and MATCH’ yang sedang diterap­kan”

1.3 Pengembangan sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang dimaksud dalam Laporan ini tetap didasarkan pada kebijakan yang sampai saat ini sudah diterapkan, antara lain diberlakukannya Wajib Belajar Sembilan Tahun dan kebijakan pengembangan pendidikan lanjutan atas.

Pada saat ini, lebih dari 40% angkatan kerja Indonesia tidak tamat pendidikan Sekolah Dasar (SD), dan sekitar 70% tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Kelompok masyarakat ini pada umumnya bekerja pada sektor informal. Dalam jangka waktu 20 tahun yang akan datang, dengan kebijakan pengembangan yang dimaksud latar belakang pendidikan angkatan kerja Indonesia diharapkan akan berubah scsuai dengan sasaran. Hal ini akan merubah harapan dan keinginan para generasi muda dan para orang tuanya. Indonesia diperkirakan juga akan mengikuti jejak pengalaman berbagai negara lain, dimana tingkat pendidikan yang makin tinggi merupakan kebutuhan individu maupun keluarganya. Tujuan pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan ini ialah untuk mengusahakan supaya dengan meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja, maka meningkat pula keahlian dan produktivitasnya. “Tujuan laporan ini ialah untuk memastikan bah­wa peningkatan pendi­dikan sepadan dengan peningkatan keterampil­an kerja”

1.4 Sampai saat ini banyak perusahaan dan industri Indonesia telah berjalan dengan balk dan menguntung­kan sekalipun dengan pekerja yang memiliki keterampilan, produktivitas dan gaji yang rendah. Kondisi tersebut pasti tidak dapat dipertahankan terus menerus. Banyak negara di kawasan di sekitar Indonesia yang lebih belakangan dalam pembangunan ekonominya. Negara-negara tersebut akan mengganti­kan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk dengan memakai teknologi yang berproduktivitas rendah dan upah rendah. Sasaran Indonesia di kemudian hari adalah menuju pada produk-produk yang makin berkualitas tinggi dengan teknologi yang makin canggih sehingga tercapai produktivitas dan efisiensi yang makin tinggi pula. Hal ini berlaku baik dalam sektor produksi maupun jasa. Sasaran tersebut dicapai melalui standar keterampilan nasional yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan lentur dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Berbagai perubahan sebagai akibat dari faktor-faktor ekonomi dan demografi tersebut dipakai sebagai latar belakang oleh Satuan Tugas dalam merumuskan usulan dan saran-sarannya.

1.5 Secara garis besar arah pengembangan kebijakan pendidikan kejuruan sudah dinyatakan dalam berbagai pidato-pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Gambar 1.1 memperlihatkan pokok-­pokok kebijakan Mendikbud yang dijadikan acuan pada Satuan Tugas dalam merumuskan pengembang­an sistem seperti tertuang dalam laporan ini. Rekomendasi program implementasi kebijakan ini disajikan pada bagian ke delapan dari laporan ini.

“Pokok-pokok perubahan kebijakan pendidikan pelatihan kejuruan yang telah dicanangkan oleh Mendikbud”

Bagian Kedua:

TUNTUTAN EKONOMI

2.1 Dalam laporan ini, berbagai faktor ekonomi yang lebih rinci tidak dimasukkan dalam mengembangkan sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. Hal yang penting ialah bahwa Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan mempunyai tujuan utama untuk memberikan bekal keterampilan dan pengetahuan-pengetahuan pendukungnya agar siswa dapat menjadi pekerja yang produktif dan mampu bcrsaing dalam mendapatkan tempat kerja maupun dalam mempersiapkan diri untuk meniti karir yang lebih tinggi.

2.2 Sudah ada beberapa laporan yang memaparkan secara rinci situasi perekonomian dan demografi dipandang dari perspektif pengembangan tenaga terampil. Salah satunya ialah laporan Bank Dunia tahun 1991 dan yang terakhir ialah laporan studi tentang promosi pelatihan yang berorientasi pada pasar kerja yang dilaksanakan oleh GTZ. Beberapa hal penting dari laporan-laporan tersebut dipaparkan di bawah ini.

2.3 Sebagaimana diketahui Indonesia akan memasuki era APEC pada tahun 2020, maka sejumlah industri perlu melakukan perubahan atau akan pudar. Dalam beberapa hal, waktunya akan lebih cepat dari 2020 karena adanya kesepakatan liberalisasi perdagangan di bawah GATT atau antar negara ASEAN (AFTA). Sebagai contoh ialah industri tekstil, pakaian jadi dan alas kaki dimana industri jenis ini di negara-negara yang relatif ekonominya dibawah Indonesia akan segera menggantikan Indonesia sebagai pemasok perdagangan dunia dengan keunggulan upah kerja dan biaya produksi yang rendah. Namun demikian Indonesia masih memiliki peluang untuk bersaing pada industri jenis, ini dengan mengembangkan keahlian, investasi dan keterampilan sehingga mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi, dan sekaligus sebagai pemasok yang terpercaya. Peluang ini mutlak membutuhkan pelatihan dan pelatihan ulang, khususnya peningkatan keterampilan para pekerja ang merupakan bagian integral dari restrukturisasi industri maupun pengembangan kaidah-kaidah TQM. Gambar 2.1. memperlihatkan secara umum dimensi tantangan ini.

Disitu terlihat gambaran secara umum dimana sebagian besar angkatan kerja Indonesia mayoritas memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah.  “Beberapa industri akan lebih berhasil jika mere­ka meningkatkan kualitas dan sifat produk dengan cara meningkatkan kete­rampilan tenaga kerja­nya”. “Industri-industri kunci harus melakukan pem­baruan atau akan pu­dar pada era perda­gangan bebas”

Gambar 2.1 Gambaran Tenaga Kerja di Indonesia: 1992

2.4 Untuk industri-industri jenis lain, era perdagangan bebas juga akan membuka peluang baru. Sebagai contoh dalam sektor pertanian yang memiliki akses lebih besar kedalam pasar Jepang sehingga dapat meningkatkan ekspor komoditi pertanian yang spesifik. Namun demikian pasar ini menerapkan pengendalian mutu yang sangat ketat terrnasuk proses bertani yang sesedikit mungkin meninggalkan limbah kimia dalam upayanya meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Masih banyak contoh lain yang merupakan peluang bagi industri Indonesia selama memiliki kualitas yang tepat untuk bersaing.

2.5 Kemajuan teknologi telekomunikasi dan komputasi, juga akan memberikan peluang sekaligus tantangan. Indonesia memiliki posisi regional yang baik untuk meraih keuntungan dari peluang-peluang baru dalam teknologi. Dalam beberapa bidang tertentu telah terbentuk keahlian-keahlian yang mampu memberikan keunggulan tersendiri Terlebih-lebih bila kerjasama regional sudah makin berkembang maka Indonesia akan semakin berpeluang untuk mengekspor tenaga terampil serta memperbesar ekspor jasa maupun produk-produknya. “Indonesia menempati po­sisi yang menguntung­kan dalam memanfaat­kan teknologi baru mau­pun sebagai pemasok barang-barang hasil tek­nologi canggih dan ber­bagai produk jasa di tingkat regional”

2.6 Meskipun pertumbuhan relatif kesempatan kerja sektor formal melebihi sektor informal, namun sektor informal masih tetap harus menyediakan lapangan kerja bagi lulusan sekolah menengah yang makin meningkat jumlahnya. Kebutuhan tenaga kerja terampil untuk sektor informal termasuk pekerja individual dan kelompok kecil tentu saja tidak bisa diabaikan. Hal-hal tersebut termasuk dalam pertimbangan Satuan Tugas, khususnya pendekatan perencanaan tenaga kerja yang bersumber dari lulusan berbagai jurusan SMK. Masukan dari industri sangat diharapkan dalam menentukan prioritas untuk menyusun substansi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing industri. Dalam laporan ini diusulkan supaya diberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan pelatihan kejuruan disektor pertanian. Sekalipun kebutuhan tenaga kerja disektor pertanian relatif cenderung menurun, namun daya serap tenaga kerja pada sektor ini masih yang terbesar. Dorongan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk pertanian untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sudah mulai terasa saat ini. “Dibutuhkan sebuah pen­dekatan yang cermat da­lam perencanaan pasar kerja. Industri harus me­mainkan peran utatna dalam penetapan prio­rita.s„sifat dan kandung­an program-program pe­latihan”.

2.7 Mendikbud telah menyatakan bahwa kebijakan LINK and MATCH bukanlah merupakan usaha untuk membuat perencanaan pasar kerja secara tepat, tetapi lebih dikaitkan dengan tingkat masukan (entry level) ke dunia kerja dari program-program Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan. Kebijakan tersebut merupakan alat atau wahana untuk membangun kemitraan dengan industri dalam menyusun prioritas maupun substansi program-program Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan. Perencanaan program-program Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan harus memperhatikan kecenderungan pasar kerja agar para siswa dapat meraih kesempatan maksimal dalam memperebutkan lapangan kerja yang tersedia dan dengan keterampilan dasar yang diperolehnya mampu mengembangkan karir kerjanya.

2.8 Meningkatnya persaingan global maupun regional yang akan dihadapi Indonesia, membutuhkan tingkat penguasaan keterampilan kejuruan yang memadai melalui sistem pelatihan yang mampu melaksanakan metoda terbaik dan bermutu.. Pada akhirnya pelatihan dapat diintegrasikan kedalam prakarsa seseorang supaya meningkatkan mutu proses dan pengelolaan. Hal ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikat ISO 9000, sebagai bagian dari pemasaran internasionalnya. Perusahaan­perusahaan semacam ini memerlukan pelatihan­pelatihan yang sekaligus meng-integrasikan perbaikan cara-cara kerja dan kendali mutu. “Best practice dan TQM dalam pelatihan men­jadi aspek penting untuk menyongsong 2020” “KEWIRAUSAHAAN merupa­kan faktor kunci pada semua jenis pelatihan”

2.9 Seluruh industri akan mengalami kecenderungan sebagaimana digambarkan di atas. Demikian pula meningkatnya kebutuhan keterampilan kewirausahaan dan inovasi perlu diprioritaskan dalam setiap jenis pelatihan. Keterampilan dan pengetahuan untuk menjalankan usaha, memiliki unsur-unsur yang umum maupun spesifik, sehingga dalam merancang kurikulum dan program perlu kecermatan dalam mengintegrasikan keterampilan teknik dan keterampilan wirausaha.

2.10 Berbagai masalah sebagaimana digambarkan di atas memperlihatkan rentang dan keragaman tantangan yang harus ditanggapi oleh sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. Dalam banyak hal tanggapan tersebut harus lebih cepat karena adanya kesepakatan liberalisasi perdagangan yang dilakukan Indonesia sebagai anggota ASEAN dan GATT. Sekalipun demikian Indonesia sebaiknya menempuh jalan yang realistik mengingat beragamnya kebutuhan masing-masing daerah dengan berbagai keterbatasannya baik dalam sumberdaya manusia, finansial maupun fisik. Kiranya tidak ada satu solusi yang berlaku umum yang dapat segera dilaksanakan/ diterapkan. Oleh karenanya dibutuhkan suatu sasaran jangka panjang dan strategi lentur yang dapat dicapai secara bertahap. Sasaran dan strategi tersebut diuraikan pada bagian berikut.

Bagian Ketiga :

SISTEM PELATIHAN YANG DIPICU OLEH INDUSTRI

3.1 Gambar 1.1 memperlihatkan dasar-dasar umum pengembangan sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. Bagian ini menurunkan sebuah pendekatan dimana posisi industri dapat berperan secara tepat dalam sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan. Bagian-bagian berikutnya menjelaskan struktur dan usulan-usulan lain yang akan berdampak pada rancangan ini. “Sistem ‘berbasis kom­petensi’ banyak man­faatnya bagi industri karena semua keteram­pilan diturunkan atas dasar kebutuhan nyata industri”.

3.2 Bagaimana industri memetik manfaat? Manfaatnya ialah:

  • Dengan memberikan bantuan berupa susunan daftar keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja (standar kompetensi), maka industri akan terjamin bahwa apa yang diajarkan dalam pendidikan dan pelatihan betul-betul sesuai dengan kebutuhan nyata.
  • Pengembangan standar kompetensi akan me­mudahkan dalam penilaian keterampilan dari setiap pekerja yang ada di perusahaan. Dengan dasar ini dapat dilakukan audit keterampilan yang sudah ada dan sasaran program pelatihan yang efektif berikutnya.
  • Standar kompetensi menjadi ukuran mutu dan peningkatannya secara berkesinambungan (bench­mark) [Benchmark: Suatu proses berkesinambungan untuk meningkatkan mutu dan upaya sekuat tenaga untuk mencapai hasil yang terbaik dengan jalan meramu berbagai karya yang paling baik (best practice) yang telah dicapai oleh berbagai pihak, baik yang berada di luar maupun di dalam lingkungan sendiri.] [Best Practice: hasil kinerja yang diketahui terbaik dari setiap prosedur atau metoda yang diterapkan.]dari sertifikat yang diberikan pada siswa/pekerja. Perusahaan akan mengerti apa arti sebuah sertifikat dalam kaitannya dengan keterampilan, karena dalam sertifikat tersebut keterampilan akan dijelaskan dalam format-format yang sesuai dengan industri dan tempat kerja.
  • Ada kesepadanan antara pelatihan on-the-job (berlatih sambil bekerja) dan off-the-job (berlatih di luar tempat kerja) dan tidak menjadi soal dimana keterampilan itu diperoleh.
  • Pekerja baru dan lama dapat menggunakan sistem sertifikat keterampilan yang sama. Ini akan sangat mendorong para siswa Sistem Ganda untuk berusaha memiliki sertifikat keterampilan yang berlaku diseluruh sektor tenaga kerja.

3.3 “Bagaimana   sistem kompetensi berfungsi?” Sistem pelatihan berbasis kompetensi diawali dengan pembentukan komite-komite industri serumpun yang selanjutnya akan bekerja sama dengan para instruktur kejuruan untuk mengembangkan seperangkat standar keterampilan yang berkaitan langsung dengan ke­butuhan nyata lapangan kerja. Standar keterampilan terbagi dalam berbagai tingkat keterampilan di tempat kerja. Standar keterampilan tersebut juga mencantum­kan keterampilan umum yang harus dimiliki oleh pemegang sertifikat supaya dapat menjadi pekerja yang baik, misalnya melek huruf, bahasa dan keterampilan sosial lainnya.

3.4 Standar keterampilan ini selanjutnya menjadi dasar untuk pengembangan kurikulum, sistem pengujian maupun pengembangan bahan-bahan pelatihan untuk pelatihan on-the-job ataupun off-the-job.  “Sistem berbasis kompe­tensi menggunakan standar keterampilan yang ditentukan oleh industri dan dipakai sebagai dasar penyu­sunan kurikulum, ba­han ajar, pengujian dan sertifikasi.”

3.5 Semua sertifikat harus berbasis pada standar keterampilan. Pada Lampiran 1 diusulkan adanya Paspor Keterampilan yang akan memberikan bukti telah dimilikinya berbagai keterampilan oleh pemegangnya.

3.6 “Berbagai standar akan diperlukan mengingat beragamnya kebutuh­an.” Standar keterampilan terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

  • Standar internasional yang berlaku di berbagai industri, karena industri-industri tersebut melak­sanakan pekerjaan dalam konteks internasional (termasuk ASEAN).
  • Standar nasional yang diperlukan di sebagian besar wilayah Indonesia yang menunjukkan kebutuhan lapangan kerja di industri Indonesia.
  • Standar regional atau perusahaan dipakai untuk memenuhi kebutuhan khusus regional atau perusahaan.
  • Keterampilan umum yang diperlukan untuk kegiatan industri kecil/rumahan, industri pedesaan dan kegiatan swakarya rakyat khususnya pada berbagai keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup terutama di daerah terpencil.

Didalam kesemua jenis standar tersebut akan ditetap­kan keterampilan-keterampilan teknik dan pengetahu­an pendukungnya (seperti matematika, bahasa, ilmu-­ilmu pengetahuan dasar, budaya, dan lain-lain) yang diperlukan untuk menjadi pekerja yang kompeten di bidangnya. Dalam penyusunan pelajaran-pelajaran tersebut supaya sejauh mungkin dibuat secara kontekstual.

3.7 Standar kompetensi yang diusulkan dalam laporan ini tidak didefinisikan secara sempit. Standar kompetensi harus mencakup juga berbagai pengetahuan yang dibutuhkan para pekerja dalam jabatan-jabatan tertentu di berbagai industri. Standar kompetensi ini sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Beberapa tahun ini beberapa proyek telah merintis dikembangkannya standar-standar kompetensi yang berkaitan langsung dengan kurikulum dan materi-materi ajaran yang telah dipakai oleh SMK dan program-program Diploma. Beberapa industri juga telah mengembangkan pelatihan berbasis kompetensi dalam program intern mereka.

3.8 Dalam menurunkan standar keterampilan, sebaiknya wakil-wakil dari industri realistik terhadap sasaran yang hendak dicapai khususnya jika akses ke on-the-job training dan kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman kerja industri terbatas. Industri sebaiknya lebih menekankan pada keterampilan pokok dan keterampilan kepemimpinan. Pada bagian keempat laporan ini dikembangkan sebuah pendekatan yang bertumpu pada pengalaman kerja, khususnya keterampilan-keterampilan yang hanya dapat dikuasai dengan melakukan pekerjaan nyata yang berulang di dunia kerja. Dalam hal ini industri harus mau menyediakan tempat untuk memperoleh pengalaman kerja tersebut, jika ingin merekrut tenaga kerja yang kompeten. “Industri harus realistik terhadap apa yang bisa di­lakukan oleh lembaga pelatihan.” “Industri harus dapat menyediakan tempat kerja praktik jika ingin men­dapatkan tenaga kerja yang kompeten”

Bagian Keempat :

SISWA DAN PROGRAM PELATIHAN

4.1 Untuk melaksanakan rancangan sebagaimana dijelas­kan di bagian sebelumnya ada dua hal yang perlu diperhatikan :

  • Siapa yang akan mendapat pelatihan (para siswa)
  • Jenis pelatihan apa yang akan diajarkan.

Bagian ini menjelaskan kedua hal tersebut di atas.

4.2 Fokus laporan ini ialah para siswa yang sedang belajar di SMK. Ada 1,4 juta lebih siswa SMK yang berusia antara 16 – 19 tahun dan berstatus sebagai siswa reguler (full time). Biaya pendidikan mereka mencerminkan porsi terbesar investasi nasional dalam Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan. Kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan para siswa SMK supaya lebih relevan dengan dunia kerja merupakan titik berat Kerangka Acuan (Term of Reference/TOR) Satuan Tugas ini. Makna utama dari diterapkannya Sistem. Ganda ialah terjadinya hubungan yang erat antara sekolah dan industri pada berbagai tingkatan, sejak yang berskala nasional sampai yang berskala kecil. Beranjak dari latar belakang ini, segala bentuk pelatihan bagi siswa SMK akan dibahas pada bagian kelima. Istilah SMK disini digunakan dalam arti yang luas termasuk didalamnya SMK negeri maupun swasta dan berbagai sekolah khusus serta sekolah-sekolah yang berada dihawah departemen-departemen lain. Bagaimanapun juga pergeseran menuju pendidikan `berbasis kompetensi’ (competency based) memerlu­kan pembahasan lebih lanjut dengan para ahli dan berbagai lembaga yang relevan, termasuk adanya kebutuhan-kebutuhan khusus yang mungkin perlu dipertimbangkan. “Sistem SMK yang ada .saat ini merupakan in­vestasi nasional yang sangat besar di bidang pendidikan kejuruan oleh karenanva pengembang­an SMK melalui Sistem Ganda merupakan prio­ritas pembahasan dalam laporan ini.”

4.3 Kebutuhan siswa SMK saat ini, harus diarahkan kedalam kerangka kebutuhan nasional yang lebih luas, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan pekerja yang sudah ada di industri dan memberikan kesempatan kepada orang-orang dewasa untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan khusus maupun yang umum sifatnya. Diperlihatkan pada gambar 2.1. bahwa terdapat 60 juta pekerja yang masih akan aktif bekerja sampai dengan 20 tahun yang akan datang. Pendidikan luar sekolah non-formal memberikan kepada kelompok ini pelatihan dengan jumlah yang sangat terbatas Sebagian lainnya mendapatkan pelatihan melalui perusahaan atau program on-the-job training. Beberapa perusahaan telah menyediakan dana untuk pelatihan para karyawannya, namun programnya hanya diakui secara intern perusahaan dan tidak ada pengakuan maupun akreditasi resmi yang berlaku di luar perusahaan. Pengembangan standar kompetensi akan memberikan kesempatan tidak hanya kepada sektor formal tetapi juga kepada sektor non-formal dan on-the-job training untuk mendapatkan pengakuan dalam pengembangan kompetensi keterampilan tersebut. Gambar 4.1. menunjukan jalinan dan proses keterpaduan tersebut diatas. Tujuannya adalah untuk mengkaitkan pelatihan formal dan non-formal melalui penerapan standar kompetensi dan pengujian yang sama. Sebagaimana diketahui, Departemen Tenaga Kerja bertanggung jawab rnengenai peraturan standar kejuruan dan jabatan. Yang penting ialah adanya jaminan bahwa semua pekerja mendapatkan kemungkinan untuk mengikuti program pengujian sesuai dengan pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasinya.  “Peningkatan keterampil­an para karyawan yang sudah ada juga merupa­kan prioritas .SMK da­lam hal ini dapat her­peran serta bersama­sama dengan seklor non-formal, pusat pelatihan industri, dan pemagang­an.”

4.4 Kelompok siswa lain yang pada saat ini masih kecil jumlahnya tetapi memiliki potensi untuk. tumbuh menjadi besar ialah generasi muda yang memasuki lapangan kerja melalui magang (apprenticeship). Ini juga sangat penting untuk diperhatikan.

Di negara lain istilah `magang’ menggambarkan sese­orang yang telah bekerja pada suatu perusahaan dan mendapat pelatihan diperusahaannya serta dibebaskan beberapa hari untuk belajar resmi di suatu sekolah. Sedangkan magang di Indonesia tidaklah demikian, meskipun magang tersebut berbasis di perusahaan. Magang di Indonesia berbeda dengan pendidikan Sistem Ganda karena siswanya sudah lepas dari pendidikan formal. Banyak program magang dimana kegiatan off-the-job trainingnya dilaksanakan di suatu pusat pelatihan yang dilola oleh departemen‑departemen lain di luar Depdikbud. Sebaliknya beberapa SMK juga melayani off the-job training bagi pemagang industri dengan mengenakan biaya pelatihan tertentu. Ada juga beberapa prakarsa yang disponsori KADIN dan beberapa lembaga lain untuk mengembangkan dan menerapkan pemagangan di Indonesia.

Mereka juga harus beradaptasi dengan teknologi baru. Wakil-wakil industri dalam komite pengembangan standar pasti akan memperhatikan bahwa standar yang dikembangkan mencakup keterampilan umum tadi dan tidak hanya menitikberatkan semata-mata kepada keterampilan teknis untuk memenuhi kebutuhan proses-proses kerja tertentu. “Pemagangan akan mem­punyai peran penting da­lam melatih tenaga kerja pemula”.  “SMK perlu meruhah pe­rannya secara bertahap sehingga dapat meme­nuhi nisi pendidikan kejuruan yang lebih luas”

4.5 Gambar 4.1. juga memperlihatkan bahwa tanpa mengurangi tanggung jawab departemen-departemen lain, sistem SMK harus mampu melayani kepentingan ketiga jenis siswa sebagaimana disebutkan di muka. Selanjutnya juga dipandang perlu untuk membuka pintu bagi penyelenggara-penyelenggara pelatihan lainnya supaya siswanya dapat mengikuti sistem sertifikasi keterampilan sehingga berbagai kompetensi yang telah dipelajari dapat terakui. Hal inilah yang, dimaksudkan dalam menerapkan Paspor Keterampii­an sebagaimana dijelaskan pada Lampiran 1. Paspor Keterampilan dirancang untuk memberikan pernyata­an yang jelas tentang keterampilan-keterampilan yang telah dimiliki pemegangnya, yang ditunjukkan ketika melamar pekerjaan.

4.6 “Berapa jumlah siswa?” Beberapa pertimbangan perlu diambil khususnya dalam menentukan prioritas pengembangan jumlah SMK negeri dan sistemnya. Disadari bahwa hal ini tidak mudah mengingat menyangkut kebijakan pemerintah dalam anggaran sektor pendidikan umum­nya dan khususnya untuk pendidikan SMU dan SMK. Dapat dimaklumi bila pemerintah akan menentukan sasaran besarnya daya tampung SLA serta keselarasan antara laju pertumbuhan daya tampung antara SMU dan SMK. Bila dapat disimpulkan bahwa biaya operasional SMK 40% lebih tinggi daripada SMU maka pengembangan jumlah SMK dibandingkan dengan SMU perlu pertimbangan yang lebih men­dalam. Dalam hal ini Satuan Tugas tidak membuat studi khusus tentang perluasan kapasitas SMK, namun menyadari bahwa kebutuhan lokal dan regional yang berdasarkan kepentingan setempat perlu juga diper­hatikan. Selanjutnya Satuan Tugas mengajukan saran:

  • Perbesar pemanfaatan fasilitas SMK untuk melayani berbagai jenis siswa dalam cakupan yang lebih luas sebagaimana disebutkan di atas. SMK harus mempromosikan secara proaktif program pendidikan bagi karyawan-karyawan di daerah masing-masing. Kegiatan ini merupakan bagian integral dari program SMK dan dipungut biaya bagi para pesertanya.
  • Perbaiki mutu dan relevansi pendidikan kejuruan bagi peserta didik.

Hal-hal tersebut disarankan untuk lebih diprioritaskan sebelum mengembangkan jumlah SMK negeri. “Memperbesar peman­faatan SMK adalah lebih penting daripada eks­pansi jumlah SMK. Meskipun demikian kebu-tuhan lokal perlu di-pertimbangkan”

4.7 Sebagaimana disebutkan di atas, para siswa SMK melaksanakan program belajar penuh sebelum memasuki lapangan kerja. Mereka harus bersaing dengan ketat untuk mendapatkan tempat kerja. Atas dasar situasi di atas, maka diharapkan selama mereka mengikuti pendidikan kejuruan dapat melakukan kerja praktek di suatu perusahaan. Mereka juga memerlukan pelajaran keterampilan umum dalam matematika, bahasa, studi budaya dan Pengembangan kompetensi industri tidak berlawanan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Industri membutuhkan karyawan yang lentur dan memiliki kemampuan menghitung, berkomunikasi, bekerja dalam kelompok serta sebagai warganegara yang bertanggungjawab. “Lulusan SMK harus mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, oleh karena itu mereka harus memiliki keteram­pilan yang lentur hingga     memungkinkan mema-suki pekerjaan yang agak beragam. Meskipun demikian kare­na industri juga membutuhkan keterampilan da­lam bidang bahasa, matematika, kerja kelom­pok dan lain-lain maka semua ini harus dima­sukkannya kedalam stan­dar keterampilan.”

4.8 Bagaimanapun juga dalam hal pengembangan standar dibutuhkan pendekatan yang luwes. Dalam diskusi dengan pihak industri diusulkan beberapa kombinasi antara on- dan off-the-job training sesuai kebutuhan masing-masing industri. Tiga diantaranya diperlihat­kan pada Gambar 4.2. dan 4.3. Semua program dimulai dengan belajar tentang dasar-dasar kejuruan ditahun pertama. Selanjutnya siswa akan menempuh program kombinasi antara ‘work-based learning’ dan ‘school-based learning’, bisa sejak tahun pertama.

Program-program pendidikan yang mempunyai komponen kerja industri akan memberikan kepada anak didik pengalaman kerja yang lebih intensif dan sebagai konsekuensinya tingkat kompetensi dan pengalaman yang dimilikinya akan jauh lebih baik. Oleh karena itu menaikkan jumlah kesempatan kerja praktek untuk jenis pendidikan ini harus diusahakan terus-menerus. Kurangnya tempat kerja praktek yang tersedia akan merupakan kendala bagi perluasan sistem ini. Perlu dilakukan konsultasi dengan industri di masing-masing propinsi. untuk dapat merancang program praktek industri. Hal ini penting bagi siswa SMK, karena mereka diharapkan dapat melakukan praktek dan pengalaman kerja minimal tiga bulan selama tiga tahun di SMK sehingga dapat meningkatkan tingkat kompetensinya.

Pengembangan pelatihan modular akan membantu memberikan keluwesan dalam menyesuaikan dengan kesempatan kerja yang ada dan kebutuhan para siswa, disamping memberikan kemudahan dalam penjadwal­an kegiatan sekolah. “Perhedaan waktu praktek kerja akan memberikan tingkat Kompetensi yang herbeda.”

“Program praktek kerja yang tersedia harus dioptimasikan agar da­pat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh siswa.”

4.9 Pelatihan untuk pekerja di industri harus singkat dan langsung mengenai keterampilan-keterampilan khusus. Penerapan sistern modular yang telah di-kembangkan akan membantu program di atas. Program modular juga dapat disusun sedemikian rupa sehingga pelatihan-pelatihan jangka pendek dapat disatukan menjadi suatu program yang mengarah pada kompetensi-kompetensi yang lebih luas yang dapat memenuhi kebutuhan pelatihan individu maupun perusahaan-perusahaan tertentu. “Para pekerja akan mendapatkan manfaat dari pelatihan sistem modular karena dapat merupakan bagian dari program yang lebih besar.”

(Bersambung……..)

Bagi rekan-rekan pembaca yang membutuhkan soft file dokumen lengkapnya dapat diunduh di :

https://docs.google.com/folderview?id=0BxISOQA_AHSeNzQ4NWU2ZGItYTRhOS00MDIyLThiYWQtNzYyODgxYmYwZjVj&usp=drive_web&hl=in

Wassalam

Duddy Arisandi

(Dosen Akademi Teknik Soroako)

 
7 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 3, 2011 inci Pendidikan

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,